Halaman

Senin, 04 November 2013

Democracy in The Revolution

Created by XI.SOCIALIST 1 at SMA Negeri 8 Tangerang :
  • Bunga.
  • Dewi Z.S.
  • Eleksien R.L.G.
  • Farrel Al-Ghazali.
  • Rizka Andhini.
  • Soderia I.B.
  • Vladimir Agusto.
  • Yohana S.H.

A.     Pengertian Demokrasi Parlementer (Liberal)
Demokrasi parlementer (liberal) adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara. Demokrasi liberal dikenal pula sebagai demokrasi  parlementer oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan UUDS 1950.

B.     Sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia Pasca Kemerdekaan (1945-1959)
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut (fluktuasi) dari masa kemerdekaan sampai saat ini, selama 55 tahun perjalanan bangsa dan negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Sebagai tatanan kehidupan, inti tatanan kehidupan yang demokratis secara empiris terkait dengan persoalan pada hubungan antara negara atau pemerintah dengan rakyat, atau sebaliknya hubungan rakyat dengan negara atau pemerintah dalam posisi keseimbangan (equilibrium potition) dan saling melakukan pengawasan (check and balance). Dengan kata lain, posisi keseimbangan antara pemerintah atau negara dengan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menghindari timbulnya tindakan kotor dan anarkis baik dilakukan pemerintah atau negara terhadap rakyatnya, partai politik, militer, maupun oleh rakyat sendiri terhadap negara atau dengan sesama anggota masyarakat.
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Di Indonesia demokrasi ini dilaksanakan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah No. 14 Nov. 1945. Menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Demokrasi ini lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat represetansi warga negara dan melindunginya dari tindakan kelompok atau negara lain.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik usia kabinet pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun sangat gampang pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang sedang dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalannya demokrasi itu sendiri.
Umumnya kabinet pada masa pra-pemilihan yang diadakan dalam tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak memperoleh kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pun pemilihan tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah tidak dapat menghindari perpecahan yang paling gawat antar pemerintah pusat dan beberapa daerah.
Di samping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai “rubber stamp president” (presiden yang membubuhi capnya belaka dan tentara ) yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pada periode ini kedudukan parlemen sangat kuat dan pada gilirannya menguat pula kedudukan partai politik. Karena itu segala hal yang terkait dengan kebijakan negara tidak terlepas dari sikap kritis para anggota parlemen untuk mendebatnya baik melalui forum parlemen untuk mendebatnya baik melalui forum parlemen maupun secara sendiri-sendiri. Salah satu hal yang penting dalam periode ini adalah adanya perdebatan yang tidak berkesudahan yang dilakukan oleh anggota parlemen dari partai yang berbeda. Karena seperti diketahui bahwa pada periode ini tumbuh era multi partai. Era multi partai diikuti oleh adanya alam kebebasan (tumbuhnya paham liberalisme) yang tumbuh pada periode ini.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak mempunyai anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstitusional untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara ketika dalam membahas undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Keluarnya Dekrit Presiden tersebut merupakan intervensi presiden terhadap parlemen. Dengan demikian sejak Dekrit Presiden keluar masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir

C.     Ciri-Ciri Demokrasi Parlementer (Liberal)
Ciri-ciri demokrasi parlementer (liberal) yaitu :
a.       Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.
b.      Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan Undang-Undang.
c.       Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa)untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departement dan non-departemen.
d.      Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
e.       Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
f.       Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
g.       Kontrol terhadap negara, alokasi sumberdaya alam dan manusia dapat terkontrol.
h.      Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang, unuk memperjuangkan dirinya.

D.     Kekuatan Sosial Politik Bangsa Indonesia Masa Perjuangan
Fungsi sebagai kekuatan sosial politik hakikatnya adalah tekad dan semangat pengabdian ABRI untuk ikut secara aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan kedaulatannya.
Dalam negara-negara demokrasi liberal, organisasi bersenjata mutlak tunduk kepada kekuasaan sipil yaitu kekuasaan yang diberikan oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan, namun lain halnya dengan Indonesia. ABRI selain merupakan kekuatan Hankam , juga merupakan kekuatan sosial politik. Lahirnya ABRI sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia berangkat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Pengalaman sejarah itu mengakibatkan bagaimana ABRI memandang dirinya yakni sebagai alat revolusi dan alat negara, juga sebagai pejuang yang terpanggil untuk memberikan jasanya kepada semua aspek kehidupan dan pembangunan bangsa. Keterlibatannya dalam memerankan fungsi sosial politik ini, didorong oleh kondisi internal (ABRI) dan kondisi eksternal termasuk lingkungan strategik internasional.
 Persepsi yang demikian timbul akibat dari kekhasan lahir dan kiprahnya revolusi kemerdekaan dan sesudahnya, membawa Dwifungsi sebagai suatu ciri khas sistem politik Indonesia. Dwi fungsi ABRI mengandung pengertian bahwa ABRI mengemban dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kekuatan Hankam dan fungsi sebagai kekuatan sosial politik.Karena negara kita adalah negara demokrasi dan seharusnya mempunyai sistem politik yang demokratik pula, maka dengan sendirinya ABRI tidak dapat dibantah. 

E.     Sistem Demokrasi Awal Kemerdekaan Hingga Demokrasi Liberal
1.      17 Agustus 1945 (setelah kemerdekaan Indonesia), Ir. Soekarno yang menjadi ketua PPKI dipercaya menjadi Presiden Republik Indonesia.
2.       24 Agustus 1945, Ir. Soekarno dilantik oleh Kasman Singodimedjo.
3.      Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bertujuan untuk membentuk tugas Presiden.
4.      7 Oktober 1945 lahir memorandum yang ditandatangani oleh 50 orang dari 150 orang anggota KNIP,yang berisikan:
1) Mendesak presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera membentuk MPR
2) Sebelum MPR terbentuk , hendaknya anggota – anggota KNIP dianggap sebagai (diberi kewenangan untuk melakukan fungsi dan tugas) MPR
5.      16 Oktober 1945 keluar Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 .
6.      3 November 1945, keluar maklumat untuk kebebasan membentuk banyak partai sebagai sebagai persiapan pemilu yang akan diselenggarakan bulan Juni 1946.
7.      14 November 1945 terbentuk susunan Kabinet berdasarkan sistem parlementer (Demokrasi Liberal).
8.      Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik.
9.      Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950.
10.  Sejak berlakunya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950 dengan sistem demokrasi liberal selama 9 tahun tidak menunjukkan adanya hasil yang sesuai dengan harapan rakyat.

F.      Keadaan Politik Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal
Pada awal deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 , Indonesia menjalankan sistem presidensial yang merujuk pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Namun pada tanggal 23 Agustus 1945 , Belanda dan negara sekutu mendarat di Indonesia. Adapun negara selain Belanda bermaksud untuk mengamankan Indonesia pasca penetapan kemerdekaannya . Namun lain halnya dengan Belanda, ia kembali ke Indonesia dengan maksud untuk kembali menguasai Indonesia. Tentunya hal ini merupakan tantangan bagi deklarator kita Soekarno untuk mempertahankan Indonesia dan wilayah – wilayah yang telah disepakati sebagai bagian dari Indonesia.

Untuk itu dibutuhkan jalan perundingan dengan pihak Belanda untuk mengakui Indonesia sebagai negara merdeka. Namun Jenderal Van Mook yang memimpin perundingan dengan Indonesia atas dasar pidato Ratu Wilhemnia tidak dapat dilakukan , karena Soekarno identik dengan Jepang. Maka berdasarkan pertimbangan tersebut dibentuklah kabinet semi-presidensil (semi-parlementer) peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis dan didasarkan pada usul BP – KNIP yang ditetapkan tanggal 14 November 1945. Hal ini dimaksudkan untuk membuka jalan perundingan antara kedua belah pihak , dengan demikian Sutan Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri yang memimpin pemerintahan Indonesia dan juga sebagai perwakilan dalam perundingan dengan pihak Belanda.

Pada masa kabinet parlementer ini Sutan Sjahrir mengambil banyak peran terutama melakukan diplomasi dengan pihak Belanda untuk mengakui Indonesia sebagai negara merdeka. Adapun pada periode ini sistem pemerintahan dinilai tidak stabil , karena terjadi penguasaan terhadap wewenang kepada Perdana Menteri . Sehingga terjadi tiga kali pergantian perdana menteri, yakni : Sutan Sjahrir , Amir Syarifuddin , dan Muhammad Hatta.

Pada periode ini juga terjadi berbagai perjanjian antara Indonesia dan Belanda untuk pengakuan dari Belanda terhadap Indonesia. Bahkan Belanda melakukan dua kali agresi ke Indonesia yang menyebabkan berbagai perang di beberapa wilayah . Dan akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana Dam, Amsterdam .
Untuk periode ini , Indonesia menjalankan sistem pemerintahan semi-parlementer karena kondisi tersebut yang tidak memungkinkan untuk menjalankan sepenuhnya , dan tentunya dipengaruhi faktor politik yakni untuk membuka jalan diplomasi dengan pihak Belanda.

Selain itu pada periode ini dibentuk KNIP yang merupakan lembaga yang menjadi cikal bakal DPR yang berfungsi sebagai badan legislatif . Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945 dan maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945, yang memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk.

II. Periode 1949 – 1950

Pada periode ini sistem pemerintahan Indonesia masih menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang merupakan lanjutan dari periode sebelumnya (1945-1949). Sistem ini menganut sistem multi-partai. Hal ini didasarkan pada konstitusi RIS yang menetapkan sistem parlementer kabinet semu (quasy parlementary) sebagai sistem pemerintahan RIS. Perlu diketahui bahwa sistem pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukanlah kabinet parlementer murni karena dalam sistem parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.

Diadakannya perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat ini adalah merupakan konsekuensi sebagai diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini karena adanya campur tangan dari PBB yang memfasilitasinya.

Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya konfrensi KMB yaitu :
- Indonesia merupakan Negara bagian RIS 
- Indonesia RIS yang di maksud Sumatera dan Jawa 
- Wilayah diperkecil dan Indonesia di dalamnya 
- RIS mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda 
- Indonesia adalah bagian dari RIS yang meliputi Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur.

Dalam RIS ada point-point sebagai berikut :
1. Pemerintah berhak atas kekuasaan TJ atau UU Darurat
2. UU Darurat mempunyai kekuatan atas UU Federasi

Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer ini, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua bagian yakni: Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu pada periode ini Indonesia tetap menganut sistem parlementer namun bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya merupakan federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.

III. Periode 1950 – 1959

Periode ini (1950-1959) merupakan periode dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, pemberlakukan peraturan pada periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Masa ini merupakan masa berakhirnya Negara Indonesia yang federalis. Landasannya adalah UUD 1950 pengganti konstitusi RIS 1949. Sistem pemerintahan yang dianut adalah parlementer kabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu.

Adapun ciri-cirinya antara lain:

a. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c. Presiden berhak membubarkan DPR.
d. Perdana menteri diangkat oleh Presiden.

Diawali dari tanggal 15 Agustus 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950) disetujui oleh DPR dan Senat RIS. Pada tanggal yang sama pula, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;
2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan.

Setelah peralihan dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem demokrasi liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari: Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Adapun kabinet yang telah dibentuk pada periode ini (1950 – 1959) antara lain:
Berikut ini kabinet yang pernah berkuasa pada masa demokrasi liberal :

1.      Kabinet Natsir  (7 September 1950-21 Maret 1951)
Kabinet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin Masyumi.
Program kerja :
a.       Menggaitkan usaha mencapai keamanan dan ketentraman
b.      Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
c.       Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante.
d.      Mencapai konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang kuat dan daulat.
e.       Menyempurnakan organisasi Angkatan perang dan pemulihan bekas – bekas anggota tentara dan gerilya dalam masyarakat.
f.       Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat secepatnya.
g.       Mengembangkan dan memperkokoh kesatuan ekonomi rakyat sebagai dasar bagi pelaksanaan ekonomi nasional yang sehat.
h.      Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha – usaha meninggikan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat

2.      Kabinet Soekiman  (27 April 1951-23 Februari 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI
Dipimpin oleh Soekiman Wiryosanjoyo
Program kerja :
a.       Menjalankan berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara.
b.      Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam pembangunan
c.        Menyelesaikan persiapan pemilu untuk membentuk Dewan Konstituante dan menyelenggarakan pemilu itu dalam waktu singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
d.      Menyampaikan Undang-Undang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh
e.       Menyelenggarakan politik luar negeri bebas aktif
f.       Memasukkan Irian Barat ke wilayah RI secepatnya

3.      Kabinet Wilopo  (3 April 1952-3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya.
Dipimpin oleh Mr. Wilopo
Program kerja :
a.       Mempersiapkan pemilu
b.      Berusaha mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI
c.       Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
d.      Perbaharui bidang pendidikan dan pengajaran
e.       Melaksanakan politik luar negeri bebas dan aktif

4.      Kabinet Ali Sastroamijoyo  ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.
Dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo
Program kerja :
a.       Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
b.      Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
c.       Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
d.      Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
e.       Pembebasan Irian Barat secepatnya.
f.       Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
g.       Penyelesaian Pertikaian politik

5.      Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin oleh Burhanuddin Harahap.
Program kerja :
a.       Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
b.      Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
c.       Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
d.      Perjuangan pengembalian Irian Barat.
e.       Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

6.      Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan koalisi antara tiga partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo.
Program kerjanya disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun, yaitu :
a.       Menyelesaikan pembatalan KMB
b.      Pembentukan provinsi Irian Barat
c.       Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
d.      Perjuangan pengembalian Irian Barat
e.       Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
f.       Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
g.       Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
h.      Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
i.        Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
j.        Melaksanakan keputusan KAA.

7.      Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yatu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-Undang Dasar pengganti UUDS 1950 serta terjadinya perebutan kekuasaan politik.
Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program kerjanya disebut Panca Karya (Kabinet Karya ), yaitu :
a.       Membentuk dewan nasional
b.      Normalisasi keadaan RI
c.       Melanjutkan pembatalan KMB
d.      Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
e.       Mempercepat pembangunan
Dari segi sudut pandang analis pemerintahan sistem ini tentunya tidak dapat menopang untuk pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan. Setelah pembentukan NKRI diadakanlah berbagai usaha untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru dengan membentuk Lembaga Konstituante. Lembaga Konstituante adalah lembaga yang diserahi tugas untuk membentuk UUD baru.

Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.

Akhirnya setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang berlangsung selama 9 tahun, rakyat Indonesia merasa bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Disamping itu, Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Dekrit presiden 5 Juli menyatakan bahwa:
1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2. Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS

G.    Keadaan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal
Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1.      Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2.      Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3.      Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
4.      Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh Belanda.
5.       Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6.       Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7.      Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8.       Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9.       Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10.   Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar
2. Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah :
1. Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
Upaya-upaya untuk mengatasi masalah ekonomi :
1.       ‘Gunting Sjafruddin’, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) pada 20 Maret 1950. Istilah ‘Gunting Sjafruddin’ ini melekat pada era Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan pada kabinet Hatta II. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2.      Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing. Impor barang tertentu dibatasi dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi. Pemberian kredit juga diberikan pada perusahaan-perusahaan pribumi agar mereka bisa berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Tapi, usaha ini gagal. Pengusaha pribumi memiliki sifat yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
3.      Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951, lewat UU No 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4.      Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mendagri kala itu, Iskak Cokrohadisuryo. Langkah yang dilakukan adalah menggalang kerja sama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi wajib memberikan latihan-latihan kepada pengusaha pribumi. Sementara itu, pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini pun tidak berjalan dengan baik. Pengusaha pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5.      Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya, banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
6.      Rencana Pembangunan Lima Tahun, Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
7.      Musyawarah Nasional Pembangunan, untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang.
H.    Kelebihan Demokrasi Parlementer (Liberal)
a.       Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
b.      Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c.       Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
d.      HAM dipegang teguh dan dijunjung tinggi oleh negara

I.       Kelemahan Demokrasi Parlementer (Liberal)
a.       Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayorits dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
b.      Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
c.       Kabinet dapat mngendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal  dari meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat menguasai parlemen.
d.      Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
e.       Multipartai, yang mengakibatkan aspirasi yang belum tersalurkan seluruhnya dengan baik.
f.       Kebebasan mengeluarkan pendapat yang terlalu bebas, sehingga tidak ada pertanggungjawabannya.

J.      Kegagalan Demokrasi Liberal (Parlementer)
Penyebab kegagalan :
1.      Dominannya politik aliran, artinya berbagai golongan politik dan partai politik sangat mementingkan kelompok atau alirannya sendiri daripada mengutamakan kepentingan bangsa.
2.      Landasan sosial ekonomi rakyat yang masih rendah.
3.      Tidak mempunyai para anggota konstituante bersidang dalam menetapkan dasar negara sehingga keadaan menjadi berlarut-larut.
4.      Instabilitas Negara karena terlalu sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini menjadikan pemerintah tidak berjalan secara efisien sehingga perekonomian Indonesia sering jatuh dan terinflasi.
5.      Timbul berbagai masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS akibat ketidakstabilan pemerintahan.
6.      Sering terjadi konflik dengan pihak militer seperti pada peristwa 17 Oktober 1952.
7.      Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat lemahnya sistem pemerintahan.
8.      Sering terjadi konflik antar partai politik dalam pemerintahan untuk mendapatkan kekuasaan.
9.      Praktik korupsi meluas. Pada masa ini tidak tindak pidana korupsi tidak bisa ditangani karena dari oknum partai maupun oknum pemerintahan tidak luput dari melakukan korupsi, bahkan mentri luar negri kala itu yang sekaligus sebagai arsitek demokrasi terpimpin juga melakukan korupsi.

10.   Kesejahteraan rakyat terbengkalai karena pemerintah hanya terfokus pada pengembangan bidang politik bukan pada ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar