Created by XI.SOCIALIST 1 at SMA Negeri 8 Tangerang :
- Bunga.
- Dewi Z.S.
- Eleksien R.L.G.
- Farrel Al-Ghazali.
- Rizka Andhini.
- Soderia I.B.
- Vladimir Agusto.
- Yohana S.H.
A. Pengertian
Demokrasi Parlementer (Liberal)
Demokrasi
parlementer (liberal) adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan
legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin
oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet
diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden
menjabat sebagai kepala negara. Demokrasi liberal dikenal pula sebagai
demokrasi parlementer oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan
parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan
UUDS 1950.
B. Sejarah
perkembangan demokrasi di Indonesia Pasca Kemerdekaan (1945-1959)
Perkembangan
demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut (fluktuasi) dari masa kemerdekaan
sampai saat ini, selama 55 tahun perjalanan bangsa dan negara Indonesia,
masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam
berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti dalam bidang politik,
ekonomi, hukum dan sosial budaya. Sebagai tatanan kehidupan, inti tatanan
kehidupan yang demokratis secara empiris terkait dengan persoalan pada hubungan
antara negara atau pemerintah dengan rakyat, atau sebaliknya hubungan rakyat
dengan negara atau pemerintah dalam posisi keseimbangan (equilibrium potition)
dan saling melakukan pengawasan (check and balance). Dengan kata lain, posisi
keseimbangan antara pemerintah atau negara dengan rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara menghindari timbulnya tindakan kotor dan anarkis baik
dilakukan pemerintah atau negara terhadap rakyatnya, partai politik, militer,
maupun oleh rakyat sendiri terhadap negara atau dengan sesama anggota masyarakat.
Demokrasi
pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer
yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan kemudian
diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk
Indonesia. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama dan
tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan
tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi
peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Di
Indonesia demokrasi ini dilaksanakan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah No.
14 Nov. 1945. Menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Demokrasi ini lebih
menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu
maupun masyarakat. Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat represetansi
warga negara dan melindunginya dari tindakan kelompok atau negara lain.
Undang-Undang
Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif
terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional
head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena
fragmentasi partai-partai politik usia kabinet pada masa ini jarang dapat
bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun sangat gampang pecah. Hal ini
mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional
yang sedang dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan
pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalannya
demokrasi itu sendiri.
Umumnya
kabinet pada masa pra-pemilihan yang diadakan dalam tahun 1955 tidak dapat
bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat
perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak memperoleh
kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pun pemilihan tahun 1955 tidak
membawa stabilitas yang diharapkan, malah tidak dapat menghindari perpecahan
yang paling gawat antar pemerintah pusat dan beberapa daerah.
Di
samping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak
memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal
merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau
bertindak sebagai “rubber stamp president” (presiden yang membubuhi capnya
belaka dan tentara ) yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab
untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya.
Pada
periode ini kedudukan parlemen sangat kuat dan pada gilirannya menguat pula
kedudukan partai politik. Karena itu segala hal yang terkait dengan kebijakan
negara tidak terlepas dari sikap kritis para anggota parlemen untuk mendebatnya
baik melalui forum parlemen untuk mendebatnya baik melalui forum parlemen
maupun secara sendiri-sendiri. Salah satu hal yang penting dalam periode ini
adalah adanya perdebatan yang tidak berkesudahan yang dilakukan oleh anggota
parlemen dari partai yang berbeda. Karena seperti diketahui bahwa pada periode
ini tumbuh era multi partai. Era multi partai diikuti oleh adanya alam
kebebasan (tumbuhnya paham liberalisme) yang tumbuh pada periode ini.
Faktor-faktor
semacam ini, ditambah dengan tidak mempunyai anggota-anggota partai-partai yang
tergabung dalam konstitusional untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara
ketika dalam membahas undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai
presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Keluarnya Dekrit Presiden tersebut
merupakan intervensi presiden terhadap parlemen. Dengan demikian sejak Dekrit
Presiden keluar masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir
C. Ciri-Ciri
Demokrasi Parlementer (Liberal)
Ciri-ciri
demokrasi parlementer (liberal) yaitu :
a. Dikepalai
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala
negara dikepalai oleh presiden/raja.
b. Kekuasaan
eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi
berdasarkan Undang-Undang.
c. Perdana
menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa)untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departement dan non-departemen.
d. Menteri-menteri
hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
e. Kekuasaan
eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
f. Kekuasaan
eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
g. Kontrol
terhadap negara, alokasi sumberdaya alam dan manusia dapat terkontrol.
h. Kelompok
minoritas (agama, etnis) boleh berjuang, unuk memperjuangkan dirinya.
D. Kekuatan
Sosial Politik Bangsa Indonesia Masa Perjuangan
Fungsi
sebagai kekuatan sosial politik hakikatnya adalah tekad dan semangat pengabdian
ABRI untuk ikut secara aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap
kekuatan sosial politik lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan
bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan kedaulatannya.
Dalam
negara-negara demokrasi liberal, organisasi bersenjata mutlak tunduk kepada
kekuasaan sipil yaitu kekuasaan yang diberikan oleh rakyat melalui mekanisme
pemilihan, namun lain halnya dengan Indonesia. ABRI selain merupakan kekuatan
Hankam , juga merupakan kekuatan sosial politik. Lahirnya ABRI sebagai
kekuatan sosial politik di Indonesia berangkat dari perjalanan sejarah bangsa
Indonesia merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Pengalaman
sejarah itu mengakibatkan bagaimana ABRI memandang dirinya yakni sebagai alat
revolusi dan alat negara, juga sebagai pejuang yang terpanggil untuk memberikan
jasanya kepada semua aspek kehidupan dan pembangunan bangsa. Keterlibatannya
dalam memerankan fungsi sosial politik ini, didorong oleh kondisi internal
(ABRI) dan kondisi eksternal termasuk lingkungan strategik internasional.
Persepsi
yang demikian timbul akibat dari kekhasan lahir dan kiprahnya revolusi
kemerdekaan dan sesudahnya, membawa Dwifungsi sebagai suatu ciri khas sistem
politik Indonesia. Dwi fungsi ABRI mengandung pengertian bahwa ABRI
mengemban dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kekuatan Hankam dan fungsi sebagai
kekuatan sosial politik.Karena negara kita adalah negara demokrasi dan
seharusnya mempunyai sistem politik yang demokratik pula, maka dengan
sendirinya ABRI tidak dapat dibantah.
E. Sistem
Demokrasi Awal Kemerdekaan Hingga Demokrasi Liberal
1. 17
Agustus 1945 (setelah kemerdekaan Indonesia), Ir. Soekarno yang menjadi ketua
PPKI dipercaya menjadi Presiden Republik Indonesia.
2. 24
Agustus 1945, Ir. Soekarno dilantik oleh Kasman Singodimedjo.
3. Pembentukan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bertujuan untuk membentuk tugas
Presiden.
4. 7
Oktober 1945 lahir memorandum yang ditandatangani oleh 50 orang dari 150 orang
anggota KNIP,yang
berisikan:
1)
Mendesak presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera membentuk
MPR
2) Sebelum MPR terbentuk , hendaknya anggota – anggota KNIP dianggap sebagai
(diberi kewenangan untuk melakukan fungsi dan tugas) MPR
5. 16
Oktober 1945 keluar Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 .
6. 3
November 1945, keluar maklumat untuk kebebasan membentuk banyak partai sebagai
sebagai persiapan pemilu yang akan diselenggarakan bulan Juni 1946.
7. 14
November 1945 terbentuk susunan Kabinet berdasarkan sistem parlementer
(Demokrasi Liberal).
8. Undang-Undang
Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif
terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional
head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik.
9. Sistem
parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan
kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950.
10. Sejak
berlakunya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950 dengan sistem demokrasi liberal
selama 9 tahun tidak menunjukkan adanya hasil yang sesuai dengan harapan
rakyat.
F. Keadaan
Politik Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal
Pada awal deklarasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 , Indonesia menjalankan sistem presidensial yang
merujuk pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memiliki kekuasaan
tertinggi dalam pemerintahan. Namun pada tanggal 23 Agustus 1945 , Belanda dan
negara sekutu mendarat di Indonesia. Adapun negara selain Belanda bermaksud
untuk mengamankan Indonesia pasca penetapan kemerdekaannya . Namun lain halnya
dengan Belanda, ia kembali ke Indonesia dengan maksud untuk kembali menguasai
Indonesia. Tentunya hal ini merupakan tantangan bagi deklarator kita Soekarno
untuk mempertahankan Indonesia dan wilayah – wilayah yang telah disepakati
sebagai bagian dari Indonesia.
Untuk itu dibutuhkan jalan perundingan dengan
pihak Belanda untuk mengakui Indonesia sebagai negara merdeka. Namun Jenderal
Van Mook yang memimpin perundingan dengan Indonesia atas dasar pidato Ratu
Wilhemnia tidak dapat dilakukan , karena Soekarno identik dengan Jepang. Maka
berdasarkan pertimbangan tersebut dibentuklah kabinet semi-presidensil
(semi-parlementer) peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar
dianggap lebih demokratis dan didasarkan pada usul BP – KNIP yang ditetapkan
tanggal 14 November 1945. Hal ini dimaksudkan untuk membuka jalan perundingan
antara kedua belah pihak , dengan demikian Sutan Sjahrir diangkat sebagai
perdana menteri yang memimpin pemerintahan Indonesia dan juga sebagai
perwakilan dalam perundingan dengan pihak Belanda.
Pada masa kabinet parlementer ini Sutan Sjahrir
mengambil banyak peran terutama melakukan diplomasi dengan pihak Belanda untuk
mengakui Indonesia sebagai negara merdeka. Adapun pada periode ini sistem
pemerintahan dinilai tidak stabil , karena terjadi penguasaan terhadap wewenang
kepada Perdana Menteri . Sehingga terjadi tiga kali pergantian perdana menteri,
yakni : Sutan Sjahrir , Amir Syarifuddin , dan Muhammad Hatta.
Pada periode ini juga terjadi berbagai
perjanjian antara Indonesia dan Belanda untuk pengakuan dari Belanda terhadap
Indonesia. Bahkan Belanda melakukan dua kali agresi ke Indonesia yang
menyebabkan berbagai perang di beberapa wilayah . Dan akhirnya pada tanggal 27
Desember 1949 di Istana Dam, Amsterdam .
Untuk periode ini , Indonesia menjalankan sistem
pemerintahan semi-parlementer karena kondisi tersebut yang tidak memungkinkan
untuk menjalankan sepenuhnya , dan tentunya dipengaruhi faktor politik yakni
untuk membuka jalan diplomasi dengan pihak Belanda.
Selain itu pada periode ini dibentuk KNIP yang
merupakan lembaga yang menjadi cikal bakal DPR yang berfungsi sebagai badan
legislatif . Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945 dan
maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945, yang memutuskan
bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk.
II. Periode 1949 – 1950
Pada periode ini sistem pemerintahan Indonesia
masih menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang merupakan lanjutan dari
periode sebelumnya (1945-1949). Sistem ini menganut sistem multi-partai. Hal
ini didasarkan pada konstitusi RIS yang menetapkan sistem parlementer kabinet
semu (quasy parlementary) sebagai sistem pemerintahan RIS. Perlu diketahui bahwa
sistem pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukanlah kabinet
parlementer murni karena dalam sistem parlementer murni, parlemen mempunyai
kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.
Diadakannya perubahan bentuk negara kesatuan RI
menjadi negara serikat ini adalah merupakan konsekuensi sebagai diterimanya
hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini karena adanya campur tangan dari PBB
yang memfasilitasinya.
Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya
konfrensi KMB yaitu :
- Indonesia merupakan Negara bagian RIS
- Indonesia RIS yang di maksud Sumatera dan Jawa
- Wilayah diperkecil dan Indonesia di dalamnya
- RIS mempunyai kedudukan yang sama dengan
Belanda
- Indonesia adalah bagian dari RIS yang meliputi
Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur.
Dalam RIS ada point-point sebagai berikut :
1. Pemerintah berhak atas kekuasaan TJ atau UU
Darurat
2. UU Darurat mempunyai kekuatan atas UU
Federasi
Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem
pemerintahan parlementer ini, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua bagian
yakni: Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu pada periode ini
Indonesia tetap menganut sistem parlementer namun bentuk pemerintahan dan
bentuk negaranya merupakan federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari
negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan
sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.
III. Periode 1950 – 1959
Periode ini (1950-1959) merupakan periode dimana
presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia 1950, pemberlakukan peraturan pada periode ini
berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Masa ini merupakan masa
berakhirnya Negara Indonesia yang federalis. Landasannya adalah UUD 1950
pengganti konstitusi RIS 1949. Sistem pemerintahan yang dianut adalah
parlementer kabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu.
Adapun ciri-cirinya antara lain:
a. Presiden dan wakil presiden tidak dapat
diganggu gugat.
b. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan
pemerintahan.
c. Presiden berhak membubarkan DPR.
d. Perdana menteri diangkat oleh Presiden.
Diawali dari tanggal 15 Agustus 1950,
Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU
No. 7/1850, LN No. 56/1950) disetujui oleh DPR dan Senat RIS. Pada tanggal yang
sama pula, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam
pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang
berbentuk federasi;
2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah
Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang
mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk
negara dari negara serikat ke negara kesatuan.
Setelah peralihan dari Republik Indonesia
Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia
mulai menganut sistem demokrasi liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan
berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab
kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR
berjumlah 232 orang yang terdiri dari: Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI
(17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5
kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada
partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari
17 kursi. Adapun kabinet yang telah dibentuk pada periode ini (1950 – 1959)
antara lain:
Berikut
ini kabinet yang pernah berkuasa pada masa demokrasi liberal :
1. Kabinet
Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
Kabinet ini dilantik pada tanggal 7 September
1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini
merupakan kabinet koalisi yang dipimpin Masyumi.
Program kerja :
a. Menggaitkan
usaha mencapai keamanan dan ketentraman
b. Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
c. Mempersiapkan
dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante.
d. Mencapai
konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan serta membentuk peralatan
negara yang kuat dan daulat.
e. Menyempurnakan
organisasi Angkatan perang dan pemulihan bekas – bekas anggota tentara dan
gerilya dalam masyarakat.
f. Memperjuangkan
penyelesaian soal Irian Barat secepatnya.
g. Mengembangkan
dan memperkokoh kesatuan ekonomi rakyat sebagai dasar bagi pelaksanaan ekonomi
nasional yang sehat.
h. Membantu
pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha – usaha meninggikan derajat
kesehatan dan kecerdasan rakyat
2. Kabinet
Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan
PNI
Dipimpin oleh Soekiman Wiryosanjoyo
Program kerja :
a. Menjalankan
berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan
ketentraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara.
b. Membuat
dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk
mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan mempercepat usaha penempatan
bekas pejuang dalam pembangunan
c. Menyelesaikan
persiapan pemilu untuk membentuk Dewan Konstituante dan menyelenggarakan pemilu
itu dalam waktu singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
d. Menyampaikan
Undang-Undang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah
minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh
e. Menyelenggarakan
politik luar negeri bebas aktif
f. Memasukkan
Irian Barat ke wilayah RI secepatnya
3. Kabinet
Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu
kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya.
Dipimpin oleh Mr. Wilopo
Program kerja :
a. Mempersiapkan
pemilu
b. Berusaha
mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI
c. Meningkatkan
keamanan dan kesejahteraan
d. Perbaharui
bidang pendidikan dan pengajaran
e. Melaksanakan
politik luar negeri bebas dan aktif
4. Kabinet
Ali Sastroamijoyo ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan
NU.
Dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo
Program kerja :
a. Menumpas
pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
b. Memperjuangkan
kembalinya Irian Barat kepada RI
c. Menyelenggarakan
Konferensi Asia Afrika
d. Meningkatkan
keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
e. Pembebasan
Irian Barat secepatnya.
f. Pelaksanaan
politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
g. Penyelesaian
Pertikaian politik
5. Kabinet
Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin oleh Burhanuddin Harahap.
Program kerja :
a. Mengembalikan
kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan
masyarakat kepada pemerintah.
b. Melaksanakan
pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat
terbentuknya parlemen baru.
c. Masalah
desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
d. Perjuangan
pengembalian Irian Barat.
e. Politik
Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
6. Kabinet
Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan koalisi antara tiga
partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo.
Program kerjanya disebut Rencana Pembangunan
Lima Tahun, yaitu :
a. Menyelesaikan
pembatalan KMB
b. Pembentukan
provinsi Irian Barat
c. Menjalankan
politik luar negeri bebas aktif
d. Perjuangan
pengembalian Irian Barat
e. Pembentukan
daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
f. Mengusahakan
perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
g. Menyehatkan
perimbangan keuangan negara.
h. Mewujudkan
perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan
rakyat.
i. Pemulihan
keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar
negeri bebas aktif
j. Melaksanakan
keputusan KAA.
7. Kabinet
Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yatu
kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena
kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-Undang Dasar pengganti UUDS 1950
serta terjadinya perebutan kekuasaan politik.
Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program kerjanya disebut Panca Karya (Kabinet
Karya ), yaitu :
a. Membentuk
dewan nasional
b. Normalisasi
keadaan RI
c. Melanjutkan
pembatalan KMB
d. Memperjuangkan
Irian Barat kembali ke RI
e. Mempercepat
pembangunan
Dari
segi sudut pandang analis pemerintahan sistem ini tentunya tidak dapat menopang
untuk pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian
tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan. Setelah pembentukan
NKRI diadakanlah berbagai usaha untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru dengan
membentuk Lembaga Konstituante. Lembaga Konstituante adalah lembaga yang
diserahi tugas untuk membentuk UUD baru.
Konstituante diserahi tugas membuat
undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959
badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno
menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang
berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.
Akhirnya setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan
sistem Demokrasi Liberal yang berlangsung selama 9 tahun, rakyat Indonesia
merasa bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena
tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Disamping itu, Presiden
menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959
mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD
1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan dekrit
yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa
sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Dekrit presiden 5 Juli
menyatakan bahwa:
1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak
berlakunya lagi UUDS 1950
2. Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
G. Keadaan
Ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal
Meskipun
Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk.
Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai
dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.Faktor yang menyebabkan
keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1. Setelah
pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa
Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan
dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah
dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2. Defisit
yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3. Indonesia
hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan
perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan
memukul perekonomian Indonesia.
4. Politik
keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang
oleh Belanda.
5. Pemerintah
Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Belum
memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga
ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi
keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8. Tidak
stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah
untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet
terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah
direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka
pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Masalah
jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar
2. Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
Sementara
masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah :
1. Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
Upaya-upaya
untuk mengatasi masalah ekonomi :
1. ‘Gunting
Sjafruddin’, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) pada 20 Maret 1950. Istilah
‘Gunting Sjafruddin’ ini melekat pada era Sjafruddin Prawiranegara menjadi
Menteri Keuangan pada kabinet Hatta II. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi
jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2. Program
Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing.
Impor barang tertentu dibatasi dan memberikan lisensi impornya hanya pada
importir pribumi. Pemberian kredit juga diberikan pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar mereka bisa berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Tapi, usaha ini gagal. Pengusaha pribumi memiliki sifat yang cenderung
konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
3. Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951, lewat UU No 24
Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4. Sistem
ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mendagri kala
itu, Iskak Cokrohadisuryo. Langkah yang dilakukan adalah menggalang kerja sama
antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi wajib
memberikan latihan-latihan kepada pengusaha pribumi. Sementara itu, pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini
pun tidak berjalan dengan baik. Pengusaha pribumi kurang berpengalaman sehingga
hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5. Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya, banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya, sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.
6. Rencana
Pembangunan Lima Tahun, Program yang dilaksanakan umumnya merupakan
program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II,
pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro
Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan
jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro
ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya
akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11
November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah
Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
7. Musyawarah
Nasional Pembangunan, untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan
rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang.
H. Kelebihan
Demokrasi Parlementer (Liberal)
a. Pembuat
kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian
pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif
dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
b. Garis
tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c. Adanya
pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi
berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
d. HAM
dipegang teguh dan dijunjung tinggi oleh negara
I. Kelemahan
Demokrasi Parlementer (Liberal)
a. Kedudukan
badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayorits dukungan parlemen
sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
b. Kelangsungan
kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai
dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
c. Kabinet
dapat mngendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet
adalah anggota parlemen dan berasal dari meyoritas. Karena pengaruh
mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat menguasai
parlemen.
d. Parlemen
menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka
menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi
menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
e. Multipartai,
yang mengakibatkan aspirasi yang belum tersalurkan seluruhnya dengan baik.
f. Kebebasan
mengeluarkan pendapat yang terlalu bebas, sehingga tidak ada
pertanggungjawabannya.
J. Kegagalan
Demokrasi Liberal (Parlementer)
Penyebab
kegagalan :
1. Dominannya
politik aliran, artinya berbagai golongan politik dan partai politik sangat
mementingkan kelompok atau alirannya sendiri daripada mengutamakan kepentingan
bangsa.
2. Landasan
sosial ekonomi rakyat yang masih rendah.
3. Tidak
mempunyai para anggota konstituante bersidang dalam menetapkan dasar negara
sehingga keadaan menjadi berlarut-larut.
4. Instabilitas
Negara karena terlalu sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini menjadikan
pemerintah tidak berjalan secara efisien sehingga perekonomian Indonesia sering
jatuh dan terinflasi.
5. Timbul
berbagai masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di
seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, Gerakan RMS akibat ketidakstabilan pemerintahan.
6. Sering
terjadi konflik dengan pihak militer seperti pada peristwa 17 Oktober 1952.
7. Memudarnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat lemahnya sistem pemerintahan.
8. Sering
terjadi konflik antar partai politik dalam pemerintahan untuk mendapatkan
kekuasaan.
9. Praktik
korupsi meluas. Pada masa ini tidak tindak pidana korupsi tidak bisa ditangani
karena dari oknum partai maupun oknum pemerintahan tidak luput dari melakukan
korupsi, bahkan mentri luar negri kala itu yang sekaligus sebagai arsitek
demokrasi terpimpin juga melakukan korupsi.
10. Kesejahteraan
rakyat terbengkalai karena pemerintah hanya terfokus pada pengembangan bidang
politik bukan pada ekonomi.